Senin, 28 November 2011

Analisis Fenomena Gender

Saya mengangkat sebuah kasus dalam penelitian yang menyebutkan bahwa wanita justru cenderung untuk memilih ranah domestik sebagai “bagian” yang diidam-idamkannya. Fakta tersebut cukup menarik mengingat telah begitu banyak perjuangan untuk menyetarakan kedudukan perempuan dan laki-laki namun pihak yang diperjuangkan yaitu pihak perempuan justru merasa nyaman, aman dan bahagia di ranah domestik mereka. Kecenderungan tersebut diindikasikan muncul karena telah berakarnya konstruksi sosial dan budaya dalam masyarakat mengenai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan.
Perempuan secara otomatis lebih suka menjadi ratu rumah tangga karena itu dianggap sebagai peran yang sangat mulia. Apalagi ada ideologi yang beranggapan bahwa wanita memang sepantasnya tinggal dirumah (domestik) karena memang kurang berhasil untuk bekerja di luar rumah (publik).

Latar belakang munculnya wilayah domestik dan publik ditengarai bersumber dari pembagian kerja yang didasarkan pada jenis kelamin yang secara populer dikenal dengan istilah gender. Pembagian kerja gender tradisional (gender base division of labour) menempatkan pembagian kerja, perempuan di rumah (sektor domestik) dan laki-laki bekerja di luar rumah (sektor publik). Pembagian kerja yang demikian ini dianggap baku oleh sebagian masyarakat dan diperkuat oleh Undang-Undang Perkawinan.
Pembagian kerja seperti ini oleh kaum feminis sering disebut dengan istilah pembagian kerja seksual, yaitu suatu proses kerja yang diatur secara hierarkis, yang menciptakan kategori-kategori pekerjaan subordinat yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan stereotipe jenis kelamin tertentu. Pembagian kerja seksual ini telah melahirkan kerja-kerja khas perempuan yang secara hirarkhis menempati tempat subordinat, sehingga karena itu ia dihargai lebih rendah. Kerja-kerja khas untuk tiap jenis kelamin umumnya dikaitkan dengan peran seksualnya, sehingga dikenal istilah kerja produktif untuk laki-laki dan kerja reproduktif untuk perempuan (Rustiani, 1996: 59-60).
Salah satu aliran Feminis yang akan saya ambil untuk mengkaji kasus ini adalah aliran feminisme liberal. Feminisme liberal merupakan aliran yang berusaha memasukkan ide bahwa perempuan merupakan makhluk yang sama dengan pria, dan mempunyai hak yang sama pula dengan pria. Feminisme liberal memberikan landasan teoritis akan kesamaan dalam hal potensi rasionalitasnya. Namun berhubung perempuan ditempatkan pada posisi bergantung pada laki-laki (suami) dan kiprahnya ditentukan dalam sektor domestik, maka yang lebih dominan tumbuh pada perempuan adalah aspek emosional daripada rasional. Bila perempuan tidak bergantung pada suami dan tidak berkiprah di sektor domestik, maka ia akan menjadi makhluk rasional seperti laki-laki. Meskipun demikian, feminisme liberal tidak menuntut persamaan menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Salah satu pemikir feminisme liberal abad ke 18 yang pendapatnya dapat digunakan untuk mengkaji dan menganalisis fenomena ini adalah Mary Wollstonecraft. Ia mengungkapkan bahwa hambatan terbesar untuk membangun kesadaran perempuan untuk mandiri dan menyadari ketidakadilan gender pada waktu itu adalah ketika perempuan menikahi laki-laki dari kaum borjuis. Kekayaan berdampak negatif pada perempuan yang telah menikah.
Berdasarkan hasil penelitian dalam artikel yang terlampir memang 69 persen perempuan lebih senang untuk memilih menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak serta keluarga jika sang suami bisa memenuhi kebutuhan finansialnya. Dapat kita pahami bahwa perempuan lebih ingin menikahi para profesional dan pengusaha kaya serta tinggal di rumah besar tanpa pekerjaan produktif di dalam rumah (banyak pelayan/pembantu rumah tangga). Sehingga tidak pula memiliki inisiatif untuk bekerja secara aktif di luar rumah.
Perempuan kelas menengah keatas menjadi “peliharaan” yang dengan tulus mengorbankan kesehatan, kebebasan, dan moralitasnya untuk prestise, kenikmatan, dan kekuasaan yg disediakan suami. Mereka tidak punya otoritas atas diri dan tidak punya kebebasan, dihambat mengembangkan kemampuan nalar dengan alasan terbaik yaitu untuk memanjakan diri dan menyenangkan orang lain (suami dan anak-anak).
Hasil kesimpulan penelitian dalam artikel yang menyatakan “…bahwa sesungguhnya tak ada keinginan wanita untuk mengambil peran pasangannya. Wanita tetap memposisikan suami sebagai penanggung jawab keluarga dan wanita fokus dalam membesarkan anak-anaknya” dapat kita cermati karena memang masih ada ketidakadilan gender yang masih tertanam dengan subur dalam masyarakat. Membesarkan dan mengurus anak serta urusan domestik merupakan pekerjaan dan tanggung jawab seorang wanita (ibu). Karena anggapan ini, kaum wanita sejak kecil telah dididik untuk menekuni peran gendernya tersebut. Di pihak lain, kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Manifestasi ketidakadilan gender ini telah mengakar kuat dalam keyakinan dan ideologi kaum perempuan maupun laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar