Senin, 28 November 2011

Perempuan Lebih Suka Jadi Ibu Rumah Tangga

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Catherine Hakim dari London School of Economics terhadap 922 wanita di Inggris dengan memberikan pertanyaan mengenai tujuan hidup serta ekspektasi mereka terhadap pasangan, membuktikan bahwa 64 persen wanita ingin suami yang berpenghasilan cukup besar untuk membiayai seluruh keluarga, 69 persen wanita memilih menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak serta keluarga jika sang suami bisa memenuhi kebutuhan finansialnya.
Mengenai tingkat pendidikan, 62 persen wanita ingin pasangan yang memiliki tingkat pendidikan sederajat dan hanya 19 persen yang ingin melebihi tingkat pendidikan pasangannya.
Penelitian tersebut membuktikan bahwa sesungguhnya tak ada keinginan wanita untuk mengambil peran pasangannya. Wanita tetap memposisikan suami sebagai penanggung jawab keluarga dan wanita fokus dalam membesarkan anak-anaknya.
Pada umumnya wanita tidak ingin bersaing dalam hal pendapatan dengan pasangannya. Jika wanita merasa pasangannya memiliki pendapatan yang cukup maka wanita akan cenderung memilih karir sebagai ibu rumah tangga.


Sumber                : http://id.shvoong.com/lifestyle/family-and-relations/2101594-perempuan-lebih-suka-jadi-ibu/
Diterbitkan pada :  15 Januari, 2011   

KEBUDAYAAN PETANI JAWA


1.      Kajian Mengenai Masyarakat Petani Jawa
82,54 % dari penduduk Jawa pada tahun 1970 masih tergolong dalam sektor ekonomi primer, bagi para petani dalam komuniti-komuniti pedesaan, hal-hal yang bersangkutan dengan pertanian untuk penggunaan sendiri, merupakan unsur utama dalam kebudayaan Jawa.
2.      Sosialisasi dan Enkulturasi dalam Keluarga Inti Petani
Orang Jawa suka mempunyai anak banyak diantaranya dengan alasan seperti alasan emosional, alasan ekonomi dan alasan gengsi. Pada masyarakat Jawa yang senang mempunyai anak, banyak ritual-ritual yang dijalani pada masa kehamilan. Pada waktu kandungan berumur tujuh bulan orang Jawa didaerah pedesaan maupun perkotaan hampir selalu mengadakan slametan mitoni. Dan pada masyarakat Jawa pada saat melahirkan lebih suka menggunakan bantuan dukun, Orang yang mengetahui segala macam upacara, sajian serta mantra, dan harus mempunyai pengetahuan mengenai jamu-jamu untuk merawat bayi yang baru lahir serta ibunya. Pada umunya adat istiadat mengenai jenis nama yang diberikan kepada seorang anak, tergantung pada tingkat sosial orang tuanya. Seorang petani tidak akan memberikan nama yang berakhiran dengan kusuma, tanaya, ningrat. Karena nama-nama seperti itu hanya untuk orang-orang dari golongan priyayi atau bangsawan. Selain malu pada orang desanya juga adanya keyakinan bahwa nama seperti itu akan membawa sial bagi yang memakai karena terlalu berat baginya (kawratan nami).
 Orang tua Jawa mendidik anaknya dengan cara akan memberikan apa yang anak mau ketika si anak mau melakukan apa yang orang tua inginkan, dan akan menghukumnya ketika si anak mau menurut, dan hukumannya biasanya dengan menyisihkan anak dari saudara-saudaranya serta teman-temannya atau dengan tidak mengajaknya bicara atau tidak mengajak bermain.
Anak-anak Jawa dalam melalui pendidikan disekolah, mereka biasanya masuk taman kanak-kanak pada waktu umur lima tahun. Antara umur enam dan dua belas tahun ia bersekolah di sekolah dasar. Dasar pendidikan agama bagi anak pria maupun wanita di Jawa, yang memegang teguh kepada ajaran agama islam adalah ngaji. Mereka belajar menulis dan membaca huruf arab. Masa remaja bagi anak pria Jawa ditandai dengan upacara khitanan yang diakukan pada waktu ia berumur antara 10 sampai 14 tahun. Masa remaja pada seorang gadis dimulai pada saat ia mendapat haid pertama, yang dilalui tanpa upacara apapun. Pada saat itulah ia dianggap seorang perawan.

Analisis Fenomena Gender

Saya mengangkat sebuah kasus dalam penelitian yang menyebutkan bahwa wanita justru cenderung untuk memilih ranah domestik sebagai “bagian” yang diidam-idamkannya. Fakta tersebut cukup menarik mengingat telah begitu banyak perjuangan untuk menyetarakan kedudukan perempuan dan laki-laki namun pihak yang diperjuangkan yaitu pihak perempuan justru merasa nyaman, aman dan bahagia di ranah domestik mereka. Kecenderungan tersebut diindikasikan muncul karena telah berakarnya konstruksi sosial dan budaya dalam masyarakat mengenai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan.
Perempuan secara otomatis lebih suka menjadi ratu rumah tangga karena itu dianggap sebagai peran yang sangat mulia. Apalagi ada ideologi yang beranggapan bahwa wanita memang sepantasnya tinggal dirumah (domestik) karena memang kurang berhasil untuk bekerja di luar rumah (publik).